Aeschylus Bapak Tragedi, Pengabdian Hidup sampai Mati untuk Tragedi

update Okt 5, 2024

Aeschylus dikenal juga sebagai “Bapak Tragedi”. Hidupnya dilakoni dengan menulis (naskah drama dan puisi) tentang tragedi, dan matinya karena tragedi.

Cara aeschylus mati tak bisa dikatakan sedih, tak pula bisa dikatakan lucu, ia tertimpa tragedi.

Seekor burung terbang membawa kura-kura sebagai makanannya, melihat kepala Aeschylus dari atas botak dikira batu, burung itu menjatuhkan kura-kura agar cangkangnya pecah sehingga dapat menikmati dagingnya.

Alih-alih cangkang kura-kura, justru batok kepala Aeschylus yang pecah.

Aeschylus Bapak Tragedi, Pengabdian Hidup sampai Mati untuk Tragedi
Src Reddit

Benar-benar tragedi, karena kesalahpahaman burung, Aeschylus mati karena kepalanya dijatuhi kura-kura dari atas ketinggian.

Semasa hidupnya setelah pensiun perang, Aeschylus menjadi penulis naskah drama yang brilian. Sedangkan pada waktu yang lebih kacau, ia menjadi penyair tragedi.

Ia hidup pada era klasik di Yunani Kuno, sekitar 524 SM hingga 456 SM. Diperkirakan meninggal pada usia 67 atau 68 tahun karena tragedi kura-kura malang dan burung biadab.

Tragedi dalam pertunjukan drama di Yunani berkembang berkat Aeschylus. Mungkin, kontribusinya yang terbesar dalam tragedi drama adalah menambahkan tokoh kedua.

Sebelumnya, drama saat itu hanya ada satu tokoh yang berbicara, atau mudahnya, monolog. Penambahan aktor kedua membuat drama menjadi dialog, memicu ketegangan interpersonal yang lebih suram dan dalam.

Jauh sebelum kematiannya, Aeschylus muda pernah diramal oleh seorang peramal bahwa kematiannya nanti berkaitan dengan sesuatu jatuh dari langit yang menimpa kepala.

Ada jenis burung tertentu di Mediterania yang memakan kura-kura. Namun, untuk membuka cangkang kerasnya, burung itu akan menjatuhkan kura-kura dari atas ketinggian ke batu. Benturan cangkang dan batu, membuat bagian dalam kura-kura keluar, lalu bisa dimakan.

Hingga cerita tentang kematian Aeschylus menjadi kenyataan. Ia tidak hanya mengabdikan hidupnya untuk tragedi, melainkan juga kematiannya.

Lantas, tidak terlalu sembrono menyebut Aeschylus, penulis dan penyair tragedi dijuluki sebagai “Bapak Tragedi”, sebuah penghargaan yang menurut saya menghibur.

Ia mungkin berpikir akan tertimpa meteor, atau proyektil meriam saat perang yang mengarah ke kepalanya. Namun tidak, itu adalah kura-kura, entah tragedi apa hewan yang berjalan lambat di darat bisa jatuh dari atas ketinggian hingga menyebabkan sang Aeschylus mati.

Hidupnya sebenarnya bukan hanya soal drama dan puisi, ia jugalah seorang pejuang heroik. Sayangnya, ia selamat dari kedua Perang Persia, pensiun sebagai pejuang dan berakhir sepenuhnya pada tragedi.

Jika ditanya apakah Aeschylus tidak pernah menulis naskah yang bahagia? Jawabannya jelas, tidak ada. Semua naskah yang ditulisnya suram dan tragis, kering seperti gurun pasir.

Dibesarkan oleh perang, ia sebetulnya merupakan prajurit tragedi yang menggoreskan tinta di atas kertas.

Aeschylus menyadari bahwa ada sesuatu yang benar-benar kosong setelah air mata. Kekosongan itulah yang disampaikannya pada naskah-naskah drama, mungkin juga puisi, dan mungkin juga cara matinya.

Naskah drama yang paling terkenal adalah trilogi Oresteia, jelajahi juga ruang kosong Aeschylus pada The Persians dan Prometheus Bound. Tokoh-tokohnya berakhir tragis, seolah menyiratkan bahwa di dunia ini benar-benar tidak ada kenyataan berupa kebaikan sama sekali.

Satu-satunya kenyataan adalah tokoh-tokoh itu ada dan hidup. Di mana kehidupan hanyalah membawa penderitaan sebelum kematian menjemput. Lebih tragis lagi, tokoh-tokoh dipaksa Aeschylus agar tidak pernah menyerah pada segala sengkarut kehidupan yang demikian ganas.

Aeschylus sang Bapak Tragedi, mengabdikan seluruh hidup dan mati untuk tragedi. Pada akhirnya, ila ruuhi Aeschylus… Al Fatihah…

Baru Lama
Komentar
Komentari
comment url